Tuhan Punya Takdir, Manusia Punya Nuklir (2) | Diterangkan Menerangkan Diterangkan Menerangkan: Tuhan Punya Takdir, Manusia Punya Nuklir (2)
Contact Us:

If You Have Any Problem, Wanna Help, Wanna Write Guest Post, Find Any Error Or Want To Give Us Feedback, Just Feel Free To Contact Us. We Will Reply You Soon.

Name: *


Email: *

Message: *


LiveZilla Live Help

Friday, September 12, 2014

Tuhan Punya Takdir, Manusia Punya Nuklir (2)

(Bagian Kedua dari Beberapa Tulisan)

Judul Tidak Serasi dengan Isi
Masih tentang informasi. Jika pada bagian pertama membahas blokade informasi, pada bagian kedua ini pembahasan bergeser ke bias informasi. Dalam blokade, porsi informasi dibatasi. Namun karena bumi ini luas, dan selalu saja ada orang-orang unik berjiwa pendobrak—meski sedikit sekali dibanding luasnya bumi—sehingga tidak rela dengan bahasa Inggris saja, upaya blokade itu akhirnya disadari kurang memadai sehingga diperlukan metode pendamping.

Contoh yang paling mudah adalah Bank. Dulu tidak ada yang namanya Bank Syariah. Bank ya Bank saja. Anehnya, ketika Bank Syariah lahir sehingga “Bank ya Bank saja” itu akhirnya disebut Bank Konvensional, tak satu orang pun yang berdiri dan mengacungkan jari: Jika uang yang beredar di Bank Syariah itu tak lain adalah uangnya Bank Konvensional juga, atau, jika uang yang beredar di Bank Syariah itu adalah kertas juga, lantas apa bedanya Syariah dengan Bukan Syariah?

Seperti itulah bias informasi. Publik ditipu mentah-mentah oleh istilah, sehingga “derajat” orang yang “percaya” kepada Bank Syariah sesungguhnya lebih tertipu daripada orang yang “percaya” kepada Bank Konvensional. Jauh sebelum itu, sebuah praktek yang oleh Alquran dikenali sebagai riba, dengan metode bias informasi, dikemas dengan nama usury. Namun sekali lagi, karena selalu saja ada orang-orang unik berjiwa pendobrak yang mengabarkan betapa tidak adilnya usury, nama itu sekali lagi dipermak menjadi interest.

Contoh yang lebih jelas lagi adalah bias informasi terhadap perilaku kaum Luth Modern. Awal muncul, kaum itu dijuluki homoseksual. Namun karena “homo” ternyata mengingatkan orang pada monyet-monyet peliharaan Darwin (Homo Wajakensis, Homo Robustus, Homo Soloensis, Homo Sapien), dengan metode bias informasi, julukan itu diganti dengan Gay dan Lesbian. Supaya lebih sopan dan lebih indah. Bukankah sopan dan indah adalah sifat yang kita sukai?

Klasifikasi Bank Konvensional-Bank Syariah dan transformasi usury ke interest atau homoseksual kegay/lesbian adalah contoh bias informasi terstruktur. Artinya, ada proses penciptaan dan penggembalaan arah sejarah terkait dengan klasifikasi dan transformasi tersebut. Namun, sebagaimana blokade informasi dinilai kurang memadai jika berdiri sendiri tanpa metode pendamping, bias informasi terstruktur akhirnya juga dinilai kurang memadai jika tidak didampingi bias informasi tidak terstruktur. Contoh paling gampang bisa dicermati satu persatu di Youtube.

Slogan Sharing is Caring baik jika  yang di-share adalah informasi yang baik juga. Sedangkan informasi yang baik, siapapun akan setuju, adalah informasi yang benar. Di Youtube, sedekah (sharing) berbuah petaka karena jumlah orang yang menyedekahkan tahi lebih banyak dari jumlah orang yang menyedekahkan hati. Masih ingat syiir tanpa waton, yang hanya karena judul videonya diembel-embeli “Gus Dur”, lantas ramai orang meyakini bahwa itu ciptaan bahkan dinyanyikan sendiri oleh Gus Dur?

Lengkap sudah perangkat keterperosokan kita: sumber daya kritis tipis plus informasi yang terbatas plus informasi yang dibelokkan arahnya.

Berkaitan dengan situasi Ukraina, keterperosokan kita dipahami betul oleh “mereka”. “Mereka” yang oleh Alquran diperkenalkan kepada kita dengan nama Ya’juj Ma’juj (Gog and Magog). “Mereka” adalah manusia juga, hanya saja mendapat takdir yang berbeda: hanya Tuhan saja yang kuasa memusnahkan mereka. Sebuah takdir yang seharusnya bisa mendatangkan pemahaman kepada kita mengapa mereka begitu ngeyel dengan agenda mereka: menyalahkan Rusia dengan menggunakan Ukraina sebagai batu di balik udang. Apakah Vladimir Putin mendirikan camp konsentrasi dan mengumpulkan orang-orang Ukraina untuk antri “diuapkan”? Jika tidak, mengapa Cameroon, Merkel, Charles, di tempat dan waktu yang masing-masingnya berbeda, sama-sama menggelari Vladimir Putin sebagai Hitler?

Cameroon, Merkel, dan Charles jelas bukan bocah SD. Tapi melihat level rasionalitas mereka dalam membandingkan Hitler denganPutin, duduk di ayunan bocah TK saja mereka sebenarnya tak layak.

Mengakhiri bagian kedua ini, mari kita sama-sama mencari jawaban pertanyaan berikut: mengapa yang mereka jadikan persamaan bagi Putin adalah Hitler dan bukan yang lain, bukankah Lenin dan Stalin lebih dekat kepada Putin daripada Hitler?

Padangan, 10 September 2014
Like the Post? Share with your Friends:-

Faishal Himawan
Posted By: RuangTerang

0 comments:

POST A COMMENT

Contact Us

Name

Email *

Message *

 
Copyright © . RuangTerang. Powered by Allah swt.
Designed by :-Way2themes