(Bagian
Pertama dari Beberapa Tulisan)
Benar-benar
bukan tugas saya untuk menulis analisis terhadap konflik yang berlangsung di
sekitar Laut Hitam. Seorang aparat sipil sebuah negara besar namun kecil, jelas
jauh dari kepantasan untuk menimbang, misalnya, seorang Putin, seorang Obama, atau
seorang Poroshenko. Pengalaman menjadi korban fitnah, sebagaimana yang sedang
dirasakan Rusia, dan pengalaman menjadi pihak yang dibodohi sehingga menjadi
umpan, sebagaimana yang diperankan Ukraina, mau tidak mau, muncul menjadi
sebuah kepedulian dalam bentuk yang paling sederhana: tulisan. Dan persetan
dengan segala ketidakpantasan.
Problem
Bahasa dan Blokade Informasi
Berpuluh
tahun, tidak ada yang mempersoalkan mengapa mesti bahasa Inggris yang
disepakati menjadi Bahasa Internasional. Sebuah kesepakatan yang kemudian
menjadikan bahasa Inggris sebagai sebuah materi dalam kurikulum sekolah.
Alhasil, hampir semua orang nonInggris yang pernah bersekolah minimal tingkat
menengah pertama, mengerti bahasa Inggris. Hasil yang lain, hampir semua orang nonInggris,
tidak mengerti bahasa yang lain, bahasa Arab misalnya (sebuah bahasa yang
mestinya dimengerti oleh seluruh orang yang mengaku Islam karena dalam bahasa itulah
Tuhan berdialog dengan mereka), atau bahasa Rusia.
Amerika
Serikat, sebagai istana kedua Dajjal setelah Inggris, mendapatkan keuntungan
besar dari mendunianya bahasa Inggris. Tidak banyaknya perbedaan antara bahasa
Inggris dengan bahasa Amerika Serikat, dengan atau tanpa paksaan, membuat hampir
seluruh orang di dunia hanya akan bisa mendapatkan informasi Internasional dari
media-media berbahasa Inggris yang hampir seluruhnya dimiliki oleh Sindikat
Piramida Satu Dollar (pengamat konspirasi menyebutnya Illuminati) yang dalam
bidang politik saat ini diwakili oleh Pemerintah Amerika Serikat.
Orang
NU, jika memiliki media, pasti akan memberikan informasi tentang betapa baik
dan benarnya NU. Sikap serupa pun pasti akan dilakukan oleh orang-orang atau lembaga-lembaga
“penggenggam kebaikan dan kebenaran” yang lain. Contoh yang paling dekat bisa
dilihat pada betapa lucunya media proJokowi dan media proPrabowo dalam
menjajakan kebaikan dan kebenaran masing-masing. Pemerintah Amerika Serikat pun
sama. Media-media yang menjadi corong informasi, separuh berisi “kebaikan dan
kebenaran” Amerika Serikat, dan separuh berisi “keburukan dan kesalahan” Iraq, Iran,
Al-Qaeda, Libya, Venezuela, Syria, dan terakhir Rusia.
Berita
“Rusia mengirim ribuan pasukan ke perbatasan Ukraina”, “Rusia bertanggungjawab
terhadap tragedi MH17”, bahkan berita yang sepintas tidak janggal “Putin-Poroshenko
menyepakati gencatan senjata”, wajar jika membuat Menteri Luar negeri Rusia sampai
berteriak, “Jika ingin mendapatkan informasi yang benar, tonton juga televisi
Rusia!”
“Rusia
mengirim ribuan pasukan ke perbatasan Ukraina” dan “Rusia bertanggungjawab
terhadap tragedi MH17” jelas sebuah informasi yang butuh bukti. Namun begitu
saja kita percaya kepada berita itu meskipun sama sekali tidak ada bukti valid
dan konkrit tentang itu. Sedangkan “Putin-Poroshenko menyepakati gencatan
senjata”, sedikit perlu diurai: siapakah yang sesungguhnya sedang berperang, Pemerintah
Ukraina vs Pemerintah Rusia ataukah Pemerintah Ukraina vs Rakyat Ukraina
sendiri yang terpaksa memberontak karena tidak terima dengan Pemerintah baru
yang tidak menghormati hak-hak rakyatnya sendiri?
Iraq
dan Syria, sebagai zona teror yang diciptakan Amerika Serikat di wilayah lain, juga
disiasati serupa. Kedekatan Syiah Iraq yang menjadi pengganti Saddam Husein dengan
Pemerintah Iran, menjadi ancaman tersendiri bagi Pemerintah Amerika Serikat yang
tampaknya kurang diperhitungkan sebelumnya. Sementara di sebelahnya, kebuntuan
siasat nyikut nyilih tangan dalam rangka menggulingkan Bashar Asad,
membuat Pemerintah Amerika Serikat setuju terhadap tawaran Israel: menciptakan “negara
boneka” bernama ISIS, sebuah “kekhalifahan Islam” dengan Khalifah made in Mossad.
Di
luar dugaan, lahirnya ISIS membuat posisi Amerika Serikat semakin rumit.
Benar-benar lupa atau memang sudah demikian skenarionya, Amerika Serikat seakan
menutup mata terhadap peristiwa kapal USS Liberty: sebuah tragedi ciptaan
Israel dengan misi menghasut Amerika Serikat supaya memerangi Mesir.
Posisi
Amerika Serikat semakin rumit. Maka diperlukan sebuah berita mengharukan: “Jurnalis
Amerika Serikat dipenggal ISIS”. James Fooley, jurnalis yang sudah mati tahun
kemarin, tiba-tiba tahun ini hidup lagi demi merelakan kepalanya dipenggal.
Setelah itu, di negeri Amerika Serikat sendiri, sebuah survey digelar.
Hasilnya: separuh rakyat Amerika Serikat tidak setuju terhadap invasi Amerika
Serikat atas Syria. Separuh yang lain setuju asal Obama, Romney, dan
pejabat-pejabat Amerika Serikat yang proinvasi sendiri yang pergi berperang ke
Syria. Hasil survey yang jauh lebih mengharukan dari berita pemenggalan James Fooley.
Maka diperlukan sebuah repetisi: “Jurnalis Amerika Serikat kedua dipenggal ISIS”.
Kasus
Ukraina, MH17, ISIS, dan James Fooley, adalah sedikit dari contoh kasus yang
menunjukkan bahwa keterbatasan penguasaan kita terhadap bahasa asing selain
bahasa Inggris berjasa besar membantu Sindikat Piramida Satu Dollar dalam upaya
mereka memblokade informasi yang benar sehingga informasi yang kita punya
sekarang hanya tiga: 1. Inggris, Amerika Serikat, dan Israel (beserta segala “dagangan”
yang mereka jajakan [di antaranya bernama demokrasi dan hak asasi manusia]) pasti
dan selalu baik dan benar; 2. Rusia adalah Uni Soviet, Uni Soviet adalah
Komunis, Komunis adalah PKI, PKI adalah G30S, G30S adalah Lubang Buaya; 3. ISIS
adalah Khilafah, Khilafah adalah Islam, Islam adalah teroris, teroris adalah
Amrozi, Amrozi adalah bom Bali.
Tiga
informasi yang, sayangnya, ketiga-tiganya terlanjur tertanam, berakar, dan
tumbuh besar dalam alam pikiran kita tanpa pernah kita sadari. Tiga informasi
yang kita sangka “pohon jati”, padahal cuma “semak belukar”.
Padangan,
4 September 2014
Like the Post? Share with your Friends:-
0 comments:
POST A COMMENT