Tanpa dasar, kami bertengkar. Bertengkar
tentang daun, tanpa menghiraukan akar. Kami bertengkar tentang jawaban yang
benar: mengapa daun yang ini kering sedang daun yang itu segar. Tanpa sadar,
kami berkelahi sampai sama-sama terkapar. Tak ada sesuatu pun yang bisa membuat
kami bangun dan kembali sadar. Tak juga gelegar halilintar.
Kami belum mati, tapi juga tidak bisa
disebut masih hidup. Darah memang tak
mengucur keluar, tapi membeku di dalam. Terdengar oleh kami sebuah salam, tapi
kebekuan menahan kami tetap diam. Tiba-tiba, seperti kuda, kami terbangun oleh
lecutan cemeti. Terbangun, tapi masih belum kembali sadar. Seseorang entah
siapa, atau sesuatu entah apa, membangunkan kami, hanya supaya kami kembali
bertengkar.
Jika sebelumnya tentang daun, kali ini
tentang bunga. Bunga adalah daun yang tidak puas dengan kedaunannya, sehingga
harus tampil semenarik mungkin agar tidak disebut daun. Ini menurut kami yang
di sebelah sana. Di sebelah sini, menurut kami, bunga adalah kertas yang tidak
puas dengan kekertasannya, sehingga harus ditampilkan semenarik mungkin agar
tidak disebut riba.
Bunga adalah daun, karena itu bersifat
alami. Bunga adalah kertas, karena itu bersifat membohongi. Masing-masing dari
kami bersikeras dengan salah satu dari dua pendapat tadi. Akhirnya, kembali
kami berkelahi. Terkapar sekali lagi. Tak ada sesuatu pun yang bisa membuat
kami bangun dan sadar kembali. Tak juga kobaran api.
Kami seperti Ashabul Kahfi. Bedanya,
Ashabul Kahfi tertidur, kami terkapar. Bedanya lagi, Ashabul Kahfi
mempertahankan diri dari kebodohan para penguasa yang tampak jelas, sedangkan
kami mempertahankan kebodohan kami sendiri. Kebodohan tentang daun dan bunga.
Kebodohan yang membenarkan argumentasi Iblis, “Aku dari api, kamu dari tanah.”
Sambong, 5 September 2014
Like the Post? Share with your Friends:-
0 comments:
POST A COMMENT